AMTI : Perlukah Indonesia Menandatangani FCTC?




Jakarta, 20 November 2019 - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menggelar acara diskusi publik dengan tema: "Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Bawah Ancaman FCTC," di Sofyan Hotel, Jalan Cut Meutia No.9, Cikini,        Menteng, Jakarta Pusat.

Para barasumber yang hadir pada acara diskusi :
1. Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim.
2. Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono
3. Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo Siswoyo.
4. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno.
5. Sekjend Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), IK Budhiman
6. Koordinator Liga Tembakau, Zulfian Kurniawan.
7. Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), M. Nur Azami

Diskusi pertama dibuka oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono menuturkan berdasarkan data dari kementerian pertanian, tembakau memiliki tiga jenis yang utama untuk diimpor yaitu: tembakau virginia memiliki komposisi paling banyak berkisar antara 60%, tembakau berley, dan tembakau oriental.

Menurutnya tembakau virginia dapat diproduksi di dalam negeri dimana Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Jawa Timur merupakan produsen virginia terbesar di Indonesia. Sedangkan untuk tembakau berley dan oriental, produksi sangat terbatas dan jarang. Beberapa tembakau dalam negeri pun dapat mensubtisusi dalam jumlah yang terbatas.

Selanjutnya beliau memaparkan mengenai tiga jenis komponen rokok kretek yakni, tembakau pembawa aroma dan rasa yang diproduksi di dalam negeri tertutama di Temanggung, orang banyak menyebut sebagai aromatic tobbaco. Namun jika ia tidak menggunakkan campuran yang lain maka akan menimbulkan iritasi di tenggorokkan. Lalu, tembakau kedua adalah tembakau penyelaras yang berguna untuk menghilangkan iritasi. Dua komponen ini baru mengisi rokok Indonesia sebesar 45-55%. Yang lainnya diisi oleh tembakau film supaya rokok bisa penuh.



"Kebanyakan impor kita itu isinya untuk penyelarasan dan fillet. Oleh karena itu Kementan sekarang ini Indonesia menghadapi defisit neraca perdagangan maka perlu adanya upaya-upaya untuk mendorong produksi dalam negeri sebagai subtitusi impor dari tembakau. Impor tembakau kita mencapai 18-22 triliun. Akan lebih baik jika kita bisa subtitusi oleh produksi dalam negeri. Saat ini program Kemtan adalah menyediakan bahan baku dalam negeri sekaligus melakukan subtisusi impor terhadap tembakau ini."ungkapnya

"Kita tidak mengembangkan perusahaan tembakau tetapi mendorong produksi dalam negeri sebagai subtitusi impor. Dalam rangka mendorong subtitusi dalam negeri maka diperlukan kebijakan yang pertama kita sudah menerbitkan permentan nomor 23 tahun 2019 yang saat ini baru ada beberapa penambahan revisi. Selama ini petani tembakau isunya itu adalah harga sering jatuh. Isunya pemerintah harus melakukan perlindungan dan pemberdayaan petani oleh karena itu pemenrintah mengeluarkan rekomendasi teknis yg isinya produsen rokok yg ingin melakukan impor memiliki kewajiban untuk menyerap produksi dalam negeri yang diajukan realisasinya sebesar 100%  untuk menyerap tembakau dalam negeri dua kali lipat"tambahnya.

Hal tersebut dilakukan oleh Kementan agar produk dalam negeri dapat terjamin suplaynya, petani bisa terbeli bahannya sehingga pemerintah dapat melakukan itu sebagai bentuk perlindungan misalnya menetapkan harga minimum masing-masing tembakau di berbagai daerah dsg.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim yang mengatakan bahwa saat ini multinasional company hingga mikro bermain di Indonesia. Menurutnya rokok linting mesin ini yang membuat industri tembakau besar dengan porsi hampir mencapai 6% atau sekitar 700rbu belum yang lain. Bahkan untuk produksi cengkeh di Indonesia berkisar lebih dari satu juta dan dikenal sebagai produsen cengkeh dunia. Abdul Rochim menilai bahwa Industri rokok saat ini sudah sangat dalam karena menggunakkan bahan baku lokal sekitar 90% diserap nasional. Negara lain seperti Madagaskar hanya menyerap 70 ribuan ton. Sehingga jika terjadi masalah pada industri tembakau internal maka masalahnya akan semakin kompleks.

"Industri tembakau sangat dalam dan dampaknya luas. FCTC sebagai pengendalian produk tembakau, di Indonesia sudah ada peraturannya. Produksi rokok dari tahun 2012 sangat turun jauh. Indonesia sangat khas, indonesia produksi tembakau, cengkeh. Ini harus betul-betul dipertimbangkan sehingga dampaknya bisa diminimalisir melalui Kombinasi pengendaliandampak tembakau beserta penegakan hukum terkait edukasi. Masih perlu edukasi bagi masyarakat 109 tahun 2012"ungkap Abdul.



Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), M. Nur Azami pun mengomentari hal tersebut beliau mengatakan bahwa industri hasil tembakau merupakan industri strategis milik Indonesia yang memiliki produk hasil tembakau yang khas berupa industri kretek dikarenakan melibatkan dua komoditas dalam negeri yaitu tembakau dan cengkeh. Menurutnya kretek hanya diproduksi di Indonesia dan tidak ada yang membuat dan meniru, kalau ada yang meniru pun tidak bisa dihilangkan trademark bahwa kretek milik budaya Indonesia.

Nur Azami mengatakan bahwa industri kretek sudah sejak lama sebelum era kemerdekaan guna menopang ekonomi Indonesia hingga saat ini. Namun nasibnya cukup miris seakan-akan dibiarkan akan tetap hidup dan ditikam. Nur Azami menilai Industri kretek sangat seksi menarik oerhatian baik secara bisnis dan komoditas lainnya. Terutama Intervensi yang cukup kuat terhadap industri kretek di misalnya adanya perjanjian internasional seperti FCTC.

"Indonesia belom semoga tidak akan mendatangani fctc. Disana memang selalu dibalut satu hal terkesan seperti malaikat alasan kesehatan dll tapi sebenarnya dia menjadi satu alat terhadap industri kretek kita. Sebegitu stategisnya karena industri kretek terus bertahan selalu memberikan setoran pajaknyanya ke pemerintah. Jumlahnya sudah 100 triliun, menjadi penopang pendapatan pemerintah. Dia memberikan konstribusi sebesar 11%, selalu melibatkan industri dalam negeri dan tidaklupa bahwa konsumenpun tertinggi masih berada di dalam negeri."pungkasnya

Terkait PP UU 109 nomor 2012, Nur Azami mengatakan bahwa untuk mengendalikan rokok daripada menandatangani perjanjian FTCT, perlu dilihat dampak di sektor pertanian tentu  bagi para petani untuk memproduksi semakin turun. Sehingga saat ini dengan adanya berbagai kebijakan pengendalian sudah sangat terlihat trend harga tembakau dan cengkeh yang semakin tertekan.

"Kita melihat di berbagai negara tidak seperti indonesia, marketnya sangat besar sehingga ketika dilakukan pengendalian akan berdampak sangat besar. Negara lain bukan sebagai sumber utama dari penerimaan oemerintah. Investasinya setiap tahum selalu ada kalau dia demandnya menurun pasti jumlah petani tembakau akan semakin menurun. Di sektor pertanian semua sektor pertanian akan tumbuh jika ada insentif sudah pasti disektor perkebunan nantinya  akan membaik"tutupnya. (michell)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANRI dan BPIP Adakan Seminar Sumpah Pemuda Untuk Generasi Milenial

Interview Park Jihoon Fancon Asia Tour In Jakarta

INFORMA HADIRKAN PROGRAM KHUSUS MEMBER